Januari memberikan banyak cerita. Semangat mengejar akhir dunia pendidikanku. Namun, di penghujung bulan Januari 2014 juga menjadi sebuah kisah, entah kisah yang menjadi akhir yang sedih atau awal yang baik. Satu yang saya ketahui bahwa saya tak mampu membendung air mataku di pertemuan terakhir itu. Bahwa kali ini saya tidak sedang di atas roda, tetapi justru sebaliknya.
Semua yang terlewati menjadi salah satu kenangan yang melekat di dalam otakku. Ketika melihat kenyataan yang ada, seolah kenangan itu berubah menjadi pisau yang sedari atdi telah siap menghunusku tepat di jantung. Apa yang mampu saya lakukan selain usaha? Hari senin 20 Januari 2014 menjadi pertemuan pertama setelah tanggal 19 Agustus 2013. Hanya berselang 5 bulan semuanya berubah jadi menyedihkan. Saya hanya mampu berusaha mengembalikan semuanya seperti semula atas masalah yang katanya entah bagaimana bisa terjadi, masalah yang bahkan saya pun tak mengerti, masalah yang terus meronta agar bisa masuk di akal sehatku. Masalah seperti apa sebenarnya ini? Masalah apa yang sebenarnya terjadi sehingga saya harus berusaha sendirian, berusaha yang sepertinya bukan seperti usaha melainkan "perang".
Saya seperti mengikuti sebuah audisi tetapi dari awal saya sudah tahu jawabannya bahwa saya tak akan menang. Tapi selalu saya menanamkan dalam hatiku, bahwa usaha dan doa tak ada salahnya. Harapan saya bahwa tak menyerah terhadap saya Allah bisa memberi saya keajaiban itu. Harapan itu tidak mungkin saya munculkan tanpa alasan. Tak hanya saya, ayah dan orang-orang di sekitar kami punya harapan baik kepada kami. Makanya dari awal saya tak pernah berniat untuk main-main. Saya berusaha terus untuk melangkah maju semampu saya untuk kami. Tapi semakin saya maju, saya semakin dipukul mundur. Semakin besar kekuatanku untuk maju,semakin besar kekuataan untuk memukul mundur saya. Seperti 10:100. Bahkan saya berusaha memberi space berharap akan ada bagian yang dirindukan, tapi nihil.
Saya mungkin menjenuhkan atau mungkin terlalu sering melakukan salah. Tapi satu yang pasti bahwa saya tak akan pernah sama dengan orang lain terhadapmu. Allah mungkin berkata lain atas doa dan harapanku. Saya tak tahu apa yang ada di depan. Saya memutuskan untuk mengurangi kekuatanku dan ternyata itulah yang diinginkan dan diharapkan. Semakin saya menarik mundur diriku, saya malah mendapat sambutan hangat. Sungguh miris. Untuk kali ini kami tak mampu satu pikiran lagi. Apa yang mampu lagi saya lakukan selain menuruti keinginan itu.
Berusaha tertawa. Itu yang saya lakukan ketika bertemu untuk membicarakan tentang kami. Pembicaraan saat itu menjadi pembicaraan terkahir menyangkut kami. Tak ada yang bisa saya lakukan selain menjadi manusia palsu saat itu. Tertawa tapi saya sadar bahwa suaraku bergetar menahan tangis yang ingin tumpah. Jutaan pisau sekaligus meghujam jantung dan otakku. Tak ada yang bisa saya rasakan selain rasa sakit. Saya tak tahu apakah ada rasa ingin tahu dan sedikit peduli terhadap saya. Inilah yang jadi perjuangan terakhirku
0 komentar:
Posting Komentar